REPRODUKSI KEKUASAAN PARA PEMIMPIN

07.59 Posted by Rendra Kurniawan 07

Oleh : Rendra Wahyu Kurniawan
Aktivis Pergerakan mahasiswa islam Indonesia

Setiap rejim pemerintahan yang berkuasa selalu memikirkan cara bagaimana kekuasaan itu bisa bertahan dan diterima oleh seluruh rakyat dengan legitimasi yang kokoh. Sejak masa Lenin, bahkan jauh sebelum itu, praktik kekuasaan cendrung mencari alat bagaimana pengakuan dan penerimaan publik bisa terus mengalir sehingga ia bisa menjaga institusi negara dalam situasi yang stabil disamping melemahkan segala unsur kekuatan oposisi, baik yang lahir dari basis rakyat sampai gerakan oposisi yang bernaung di tubuh parlemen.

Telah banyak studi yang memperbincangkan mekanisme-mekanisme praktik kekuasaan yang
berusaha menjalankan roda pemerintahan secara benar, Machiavelli jauh-jauh hari pernah mendapat penerimaan luas di kalangan politisi tentang kodrat yang melekat pada ruang politik kenegaraan. Baginya, politik riil dalam bingkai kenegaraan itu bisa dijalankan secara maksimal meliputi segala unsur kekuatan yang ada. Politik yang menghalakan segala cara. Maka dalam era globalisasi teknologi sekarang ini, yang memungkinkan pengaruh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi begitu deras masuk di setiap bidang kehidupan, rejim yang berkuasa pun tidak luput untuk memanfaatkan ruang tersebut menjadi medium legitimasi kekuasaan dengan mekanisme baru pada ranah politik. Pencitraan positif seorang penguasa akan terus berjalan sebagai strategi yang ampuh dalam meraup dukungan publik secara luas, pola kerjanya mengedepankan peranan media dan kecanggihanteknologi sehingga terbuka pula kesempatan dan peluang bagi praktik kekuasaan yang mengedepankan penguasaan atas simbol dan juga kekerasan secara simbolik. Perkara diatas menjadi salah satu alamat kritik Pierre Bourdieu dalam membaca fenomena penguasaan dan kekerasan simbolik berikut politik pencitraan yang belangsung di setiap rejim berkuasa.

PEMAPARAN MASALAH
Dalam konteks Indonesia, membaca setiap rejim politik tidak hanya dipandang mekanisme
pengambilan kebijakan atau bagaimana rejim mengalola kinerja pemerintahan. Tapi di tempat lain dapat disimak dari kerja simbolik yang digunakan oleh rejim politik, seperti wacana yang dipublikasikan, retorika yang digunakan, sampai pada model politik pencitraan seperti yang gencar dilakukan oleh rejim SBY.

Telah menjadi keniscayaan sejarah bagi setiap orde kekuasaan untuk menciptakan sistem
simbol yang mencerminkan identitas yang khas. Rejim politik di era Sukarno, memproduksi wacana Nasakom sebagai konsentrasi simbolik yang bertujuan menyatukan komponen kekuatan politik yang terfragmentasi pada masa itu. Di masa orde baru Suharto, sistem simbolik melekat erat dalam wacana pembangunan (developmentalism). Begitupun pula di masa SBY, berkembang wacana good governance untuk dijadikan simbol utama merepresentasikan cita-cita besar pemerintahan. Rejim kekuasaan seringkali juga mencitrakan dirinya dengan bahasa-bahasa simbolik seperti “penyambung lidah rakyat”, “bapak pembangunan”, “orang terdepan dalam pemberantasan korupsi”, atau “anak bangsa” .

Bagi yang mampu memegang simbol maka ia dapat mengejewantahkan dirinya seperti apa
yang disimbolkan. Jika demikian halnya, rejim politik bisa menjalankan praktik kekuasaannya atas nama simbol yang ia ciptakan sendiri. Ia memiliki wewenang untuk menjadikan simbol itu nyata dan mendapatkan pengakuan bahwa rejim politik memiliki mandat untuk bertindak sesuai dengan karakter yang disimbolkan.

Contoh lain yang berkaitan dengan penguasaan simbolik ialah munculnya wacana good
governance yang diusung pemerintahan SBY sebagai visi besar penataan Negara. Di balik
pewacanaan good governance tersembunyi relasi kuasa yang tak tampak oleh khalayak akan tetapi tampil seakan-akan mengandung nilai objektif.

CLAIM

Permasalahan kekerasan simbolik dalam bentuk pencitraan diatas digunakan untuk
mereproduksi kekuasaan itu sendiri. Rata-rata penguasa mengeluarkan simbol trademark yang menggambarkan sifat mereka masing-masing. Dan tentunya hegemoni kekuasaan dapat dilanjutkan dengan beberapa strategi.

Namun permasalahan reproduksi kekuasaan dengan menggunakan politik pencitraan ataupun
kekerasan simbolik diatas muncul bukan tanpa solusi. Tentu sulit menjadi seorang pemimpin yang bisa terus menerus menghegemoni sebuah negara dengan reproduksi kekuasaan. Soeharto yang telah menghegemoni Indonesia selama beberapa tahun dengan menggunakan reproduksi kekuasaan akhirnya dapat diruntuhkan oleh organisasi ekstra parlementer pada tahun 1998. Sebagaimana teori yang diungkapkan oleh Althusser dibawah ini.

PENJELASAN TEORI

Kata Kunci : Hegemoni, neo marxis, nation state, reproduksi kekuasaan

Studi mengenai kekuasaan (power) menempati posisi sentral dalam diskursus ilmu politik. Karenanya, tidak heran apabila sebagian orang menyatakan bahwa hubungan politik dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang yang saling berkaitan. Kekuasaan (power) merupakan sebuah konsepsi yang memiliki arti yang beragam.

Strategi mempertahankan dan melestarikan sebuah kekuasaan mengandaikan penggunaan
kekerasan. Pertautan keduanya –kekuasaan dan kekerasan- seringkali terwujud dalam bentuk yang plural. Ada yang mengabsahkan pemakaian segala cara meskipun buruk yang penting kekuasaan tetap terjaga. Pemikiran seperti ini dapat kita temukan pada pemikiran politik Niccolo Machiavelli dalam karyanya The Prince. Bagi Machiavelli, kekuasaan harus dilestarikan melalui cara apapun agar kedaulatan sang penguasa (negara) tetap tegak. Karenanya penggunaan kekerasan yang bersifat fisik pun dapat dibenarkan, seperti intimidasi, penyiksaan, penculikan, dan sebagainya. Dengan kata lain, negara memiliki kewenangan melakukan politik kekerasan untuk mempertahankan dominasinya terhadap yang dikuasainya.

Akan tetapi, praktik dominasi kekuasaan tidak semata-mata diadakan melalui kekerasan fisik.Antonio Gramsci –seorang pemikir neo marxis dari Italia- menyatakan bahwa kekuasaan dapat dilanggengkan melalui strategi hegemoni. Hegemoni yang dimaksudkan oleh Gramsci ialah peran kepemimpinan intelektual dan moral (intellectual and moral leadership) untuk menciptakan ide-ide dominan.

Berangkat dari kritiknya terhadap konsepsi kekuasaan ala Karl Marx yang mereduksi praktik dominasi pada struktur ekonomi, Gramsci lebih jauh berpandangan bahwa kekuasaan diperoleh lewat hegemoni ide-ide (dalam wilayah budaya) yang didasarkan atas mekanisme konsensus. Melalui hegemoni, ide-ide yang diciptakan penguasa menentukan struktur kognitif masyarakat. Upaya hegemoni ini berlangsung untuk menggiring persepsi orang dalam kerangka yang telah ditentukan oleh negara. Misalnya, pada masa orde lama, Sukarno menciptakan hegemoni ide dalam wujud musuh bersama (common enemy) yaitu neo kolonialisme dan imperialisme. Atau di era Soeharto yang menjadikan anti PKI sebagai ide besar. Ide-ide dominan tersebut mampu menghasilkan konsensus bersama serta menciptakan rasa persatuan masyarakat bahwa musuh besar bangsa adalah Nekolim dan PKI. Dengan begitu, hegemoni cenderung mengalihkan perhatian masyarakat dari realitas yang sesungguhnya. Tujuannya tak lain adalah mempertahankan kekuasaan penguasa negara.

Untuk menjaga keberlangsungan proses reproduksi kekuasaan dan relasi kekuasaan, Louis
Althusser –salah seorang pemikir neo marxis lainnya- meletakkan negara sebagai institusi sentral yang berperan mempersatukan dan memaksa masyarakat dalam reproduksi kekuasaan. Dimulai dengan merevisi teori marxis tentang state power, Althusser membedakan antara kuasa negara (pemeliharaan kekuasaan negara atau perebutan kuasa negara) sebagai tujuan perjuangan kelas politik dan aparatus negara di sisi lain. Dalam pandangan Althusser, kuasa negara masih dapat berubah dan berganti akibat dari perebutan kekuasaan oleh kelas-kelas politik yang ada. Sedangkan aparatus negara relatif bisa bertahan meski terjadi peralihan kekuasaan. Bercermin pada momen politik reformasi 1998 di Indonesia, kita dapat melihat bahwa meski telah terjadi peralihan kekuasaan yang ditandai turunnya Soeharto lewat kekuatan-kekuatan politik yang ada pada saat itu,namun aparatus negara (politisi, partai politik, atau militer orde baru) tetap melanggeng di struktur kekuasaan.

Althusser lebih lanjut memaparkan distingsi aparatus negara dalam kaitannya dengan
reproduksi kekuasaan. Pertama; Aparatus Negara Represif (Repressive State Apparatus, RSA) yang bekerja dengan cara represif melalui kekerasan fisik maupun non-fisik, seperti pemerintah, militer,polisi, lembaga peradilan. Yang kedua; Aparatus Negara Ideologis (Ideological State Apparatus, (ISA). Modus kerja ISA berlangsung melalui cara-cara yang ideologis-persuasif, seperti lembaga agama, pendidikan, media massa, partai politik, lembaga survei dan sebagainya. Pada bentuk kedua inilah, negara memperkuat kekuasaannya melalui muatan-muatan ideologi yang tak tampak.

Perjuangan dominasi kekuasaan, dalam piranti aparatus negara ideologis, mengandalkan
mode ideologi tertentu untuk menciptakan subyek. Pembentukan subyek ini dapat kita temukan ketika aparatus negara ideologis menyapa, merayu, dan mengajak subyek untuk menjadi pengikut. Slogan “Bersama Kita Bisa” di tahun 2004, misalnya, berperan secara simpatik untuk mengajak masyarakat bergabung dalam kebersamaan ideologis di bawah pemerintahan SBY-JK. Dalam perspektif Althusser maupun Gramsci, slogan seperti itu berupaya menanamkan citra yang bersahabat bahwa pemerintah dekat dengan rakyat atau persoalan bangsa hanya bisa diatasi kalau pemerintah dan masyarakat bersatu padu.Begitu pula dengan trend politik di pemilu 2009 yang lalU dengan maraknya survei mengenai peluang masing-masing kontestan. Lembaga Survei Indonesia yang selalu menampilkan hasil yang dimenangkan oleh SBY sebagai calon presiden terbukti meredusir fakta kepada publik sehingga bisa mempengaruhi pilihan konstituen.

Apabila mengacu pada perspektif konstruksionis, setiap manusia tidak ada yang bebas dari kepentingan. Sehingga apa yang dipraktikkan oleh LSI sangat terbuka peluang untuk memanipulasi atau memoles sedemikian rupa sehingga terlihat tidak berpihak atau terkesan objektif.

Berangkat dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa pertautan kekuasaan dan
kekerasan semakin kompleks. Kondisi ini didukung oleh fakta sosial yang mengalami perubahan terus-menerus akibat globalisasi ekonomi pasar dan teknologi informasi yang terjadi di abad 21 ini.Arus globalisasi tidak hanya menandai kaburnya batas-batas negara, melainkan juga praktik kekuasaan dan kekerasan. Jika sebelumnya negara menjadi gugus institusi sentral dalam penggunaan kekuasaan dan kekerasan untuk mengendalikan masyarakat, maka dalam konteks masyarakat global saat ini negara tidak lagi menempati posisi sentral.

Dan salah satu tokoh yang memberikan perspektif baru mengenai pertautan kekuasaan dan
kekerasan ini ialah Pierre Bourdieu. Dari Bourdieu, kita dapat menguak modus operandi kekuasaan yang terpatri di dalam praktik simbolik bahasa/wacana sehingga melahirkan kekerasan simbolik sebagai sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan.

ANALISIS
Dunia Barat sejak mengenal demokrasi berulang kali mengalami kemunduran dalam
menerapkannya. Setelah enam abad demokrasi, di Yunani, kemudian di Roma, kemunduran terjadi dalam bentuk kekaisaran. Sejak itu, para diktator silih berganti memerintah rakyatnya dengan tangan besi. Padahal, sudah berganti generasi mereka terbiasa berdebat bersama tentang apa yang hendak dicapai dalam kehidupan sosial politik. Ternyata, tradisi itu tidak cukup untuk melindungi mereka dari kecenderungan menggunakan kekerasan.

Namun saat ini dinamika sosial, ekonomi dan politik berubah secara radikal dalam
mekanisme reproduksi kekuasaan. Penguasaan atas simbol dan politik pencitraan telah menjadi modus baru dalam praktik kekerasan simbolik yang bekerja secara efektif ketika yang didominasi merasakan ketidaktahuan sekaligus mengakuinya. Karena itu, menurut Bourdieu, kekerasan simbolik beroperasi lewat prinsip simbolik yang diketahui dan dikenali oleh kedua belah pihak, yaitu yang mendominasi dan yang didominasi. Entah itu bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara berbicara,bahkan cara bertindak sekalipun.

Sehingga rakyat menjadi tidak peduli dengan segala tipu daya dan intimidasi oleh rejim politik yang menjalankan kekerasan simbolik. Rakyat akhirnya menjadi jinak (docile) dengan simpang siurnya demagogie (wacana politik untuk tujuan “mengobok-obok”, memancing, serta mengeksploitasi hasrat dan perasaan massa), kebohongan, kemunafikan, manipulasi, dan provokasi.

Kekerasan simbolik itu selalu mengandaikan bahasa sebagai alat efektif untuk melakukan “dominasi terselubung”. Karena bahasa sebagai sistem simbolik tidak saja dipakai sebagai alat komunikasi, tapi juga berperan sebagai instrumen kekuasaan dengan memanfaatkan mekanisme kekerasan simbolik. Bourdieu mengajarkan kepada kita untuk selalu curiga terhadap bahasa, konsep,wacana, tanda, slogan, ataupun simbol lainnya yang diproduksi oleh kelas dominan. Lewat kekuasaan simbol pula lah dunia ini ditafsirkan, dinamakan, dan didefinisikan untuk menggirng kelas sub-dominan kepada pengakuan serta penerimaan terhadap pandangan dunia mereka yang bermodal besar. Proses untuk mempelajari setiap kalimat ataupun simbol yang diucapkan menjadi sesuatu yang penting, agar penilaian bukan hanya dari segi bahasa, citra, ataupun simbol. Melainkan penilaian secara objektif terhadap kinerja penguasa.

SOLUSI

Dari permasalahan diatas, seperti yang telah dituliskan tadi bahwa permasalahan diatas muncul bukan tanpa solusi. Dari sini reproduksi kekuasaan melalui pencitraan, bahasa, ataupun kekerasan simbol dapat diminimalisir dengan mengamati setiap ucapan ataupun janji-janji calon penguasa yang ingin mereproduksi kekuasaannya. Atau juga bisa dengan menilai pemimpin atau penguasa dengan kinerja konkrit dari penguasa tersebut. Selain solusi yang bersifat individu diatas,juga ada solusi yang sifatnya kolektif, melalui peran dari civil society yang harus mengawal proses jalannya pemerintahan. Agar reproduksi kekuasaan dapat berjalan dengan baik dan semestinya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ritzer, George-Douglas J. Goodman.2004. Teori Sosiologi Modern.Jakarta : Kencana

2. Duverger, Maurice.2002.Sosiologi Politik.Jakarta:Rajawali Pers

3. Althusser, Louis.2010.Tentang Ideologi:Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural

Studies.Yogyakarta:Jalasutra

4. www.kompasiana.com

0 komentar:

Posting Komentar